Pada
permulaan Abad ke-16, sebagian besar negara islam berada di bawah kekuasaan
kolonial Barat. Daratan Aceh, yang terdiri dari kerajaan-kerajaan islam keci,
juga tidak terlepas dari penjajahan kolonial Barat. Kekuasaan imperialis kolonial
Barat ini bisa bertahan karena kekuatan yang di miliki oleh Kerajaan Islam di
Aceh terpencar di sejumlah kerajaan kecil. Tidak mungkin melawan penjajahan
kolonial Barat yang telah berhasil mematahkan sebagian besar negara Islam pada
permulaan abad ke-16, bila kekuatan yang dimiliki terpencar di sejumlah
kerajaan kecil.
Pemikiran
untuk bersatu, menjadi besar dan disegani lawan, muncul dari Panglima Angkatan
Perang Kerajaan Islam Aceh, Ali Mughaiyat Syah yang menyadari semakin besarnya
peran Portugis di Aceh. Sebagai Panglima Angkatan Perang Kerajaan Islam Aceh,
yang juga putra Sultan Alaidin Syamsu Syah, Ali Mughaiyat Syah minta kepada
ayahnya untuk meletakkan jabatan dan menyerahkan pimpinan negara kepadanya. Pada saat itu
Sultan Alaidin Syamsu Syah memang sudah cukup tua untuk memimpin perlawanan
pada Portugis.
Ali
Mughaiyat Syah menyadari bahwa untuk melawan Portugis diperlukan kekuatan yang
besar. Selama kerajaan-kerajaan kecil masih tetap berdiri sendiri dan tidak
bergabung dalam satu kekuatan kerajaan besar yang kuat dan bersatu, tetap saja
perlawanan tidak memiliki banyak arti. Selain menyusun kekuatan
kerajaan-kerajaan kecil menjadi satu, Ali Mughaiyat Syah juga berpikir bahwa
kerajaan harus memiliki Angkatan Darat dan Laut yang kuat dan berdisiplin.
Pada
tahun 1511, dengan gelar Sultan Alaidin Ali Mughaiyat Syah, ia memimpin
kerajaan Islam Aceh. Langkah pertama yang dilakukan adalah menaklukkan
kerajaan-kerajaan kecil hingga bisa menjadi satu kekuatan besar dengan nama
“Kerajaan Aceh Darussalam”. Wilayah yang dikuasainya meliputi Aru sampai ke
Pancu Di Pantai Utara. Di Pantai Barat, wilayahnya mencakup Kerajaan Baya
sampai ke Barus, dengan ibukota negara Banda Aceh Darussalam. Setelah berhasil
menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil, mulailah dilakukan pengusiran Portugis
dari seluruh daratan Aceh.
Pada
masa tersebut, kekuasaan Portugis sudah sampai ke daerah-daerah. Dalam setiap
wilayah kerajaan, Portugis mendirikan kantor dagang dan menempatkan pasukannya.
Portugis juga memaksa raja-raja yang telah menyerah untuk menandatangani
perjanjian monopoli dagang dengannya.
Penguasaan
Portugis atas daratan Aceh sudah saatnya diakhiri. Di bawah pemerintahan Dultan
Alaidin Ali Mughaiyat Syah, mulailah pertempuran melawan Portugis di berbagai
tempat antara armada Aceh dan armada Portugis. Dalam pertempuran-pertempuran
itu, armada Portugis benar-benar diluluh-lantakkan, sehingga banyak perwira
tinggi Portugis yang tewas. Di antara perwira tersebut adalah Laksamana Jorge
de Berito, Simon de Souza dan lain-lain.
A.
Lima Besar Kerajaan Islam
Keberhasilan
gemilang dalam mengusir Portugis, mengukuhkan Sultan Alaidin Ali Mughaiyat Syah
secara definitif sebagai Sultan pertama Kerajaan Aceh Darussalam dengan ibukota
negara Banda Aceh. Berdirinya Kerajaan Islam Besar pada masa tersebut sekaligus
mendudukkan Aceh Darussalam menjadi salah satu Kerajaan Islam Besar yang masuk
dalam deretan “Lima Besar Islam”. Pada masanya, Lima Besar Islam ini, menjalin
kerjasama ekonomi,politik,militer, dan kebudayaan. Lima Besar Kerajaan Islam
tersebut adalah:
1.
Kerajaan Islam
Turki Usmaniyah yang berpusat di Istanbul, Asia Minor.
2.
Kerajaan Islam
Marroko di Afrika Utara.
3.
Kerajaan Islam
Isfahan di Timur Tengah.
4.
Kerajaan Islam
Agra di Anak Benua India.
5.
Kerajaan Aceh
Darussalam di Asia Tenggara.
Islam sendiri masuk ke Indonesia pada abad pertama
Hijriah melalui saudagar-saudagar Arab dan Gujarat, ke pesisir Pantai Utara
Pulau Sumatera (Aceh). Kemudian menyisir dari Peureulak, Aceh Timur, lalu
menyebar ke Tamieng (jurusan Timur), Pasai(jurusan Barat), Lingga (jurusan
Selatan). Dari lingga berlanjut ke Lamuri (Aceh Besar) dan seterusnya kembali
lagi ke jurusan Timur yaitu Pidie, mengarah ke Barat yaitu Jaya.
Kerajaan Islam Peureulak merupakan Kerajaan Islam
pertama yang berdiri di kepulauan Nusantara pada tahun 225 H atau 840 M.
Portugis memaksakan nafsu penjajahannya dengan
menyerang raja-raja Islam di Pantai Utara Sumatera ketika pada akhir abad ke-15
berhasil menduduki Goa di India dan Malaka. Kerajaan yang sempat dijajah
Portugis di Pantai Utara Sumatera antara lain Aru (Pulau Kampai), Samudra
Pasai, Pidie, Aceh, dan Jaya.
B.
Membangun Angkatan Perang
Ketika
membangun Kerajaan Aceh Darussalam, Sultan Alaidin Ali Mughaiyat Syah
menetapkan empat pola dasar program negara. Salah satu di antaranya adalah
membangun Armada Angkatan Laut yang kuat, di samping Angkatan Darat yang memang
telah di bangun sejak Kerajaan Islam Peureulak dan Samudra Pasai.
Empat pola dasar ini direalisir
penerusnya, Sultan Alaidin Ali Ri’ayat Syah, yang lebih terkenal dengan sebutan
Al-Qahhar. Dari Turki, Arab, dan India didatangkan tenaga ahli teknik untuk
keperluian zeni dan ilmu perang guna melatih armada Aceh.
Langkah memperkuat Armada Angkatan
Laut ini dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda. Ia bahkan mendasarkan kerjanya
pada filsafat “Siapa kuat hidup, siapa lemah tenggelam”. Oleh karena itu,
kekuatan Angkatan Perang Laut dan Darat terus mendapat perhatian.
Angkatan perang Aceh di bangun
secara modern pada masa itu dengan tanda kepangkatan menyerupai tanda
kepangkatan Angkatan Perang Turki. Turut terlibat dalam membangun Angkatan
Perang Aceh, seorang teknisi Amerika bernama F.Sheppard yang telah memeluk
agama Islam dan telah menunaikan Ibadah Haji. Ia memimpin pembuatan senjata
pada industri perang di daerah Samalanga, tanah leluhur Teuku Hamid Azwar.
Pada tahun 1545, Aceh mengirim
utusan ke Turki untuk memperbaharui hubungan diplomatik, di samping untuk
meminta bantuan senjata dan tenaga ahli untuk melawan Portugis. Permintaan Aceh
di kabulkan oleh Sultan Turki yang berkuasa pada masa itu, yaitu Sultan
Sulaiman Khan, dengan memberikan kepada Aceh sejumlah besar alat senjata dan
kira-kira 300 orang tenaga ahli (teknik, militer, ekonomi dan
hukum/tatanegara).
C.
Hubungan Luar Negeri
Hubungan
Kerajaan Aceh degan manca negara sebenarnya sudah terjalin sejak zaman Kerajaan
Islam Peureulak. Kerjasama di lakukan dengan negara-negara seperti Arab, Persia
(sekarang Iran), India (Gujarat), dan kerajaan-kerajaan di semenanjung Malaya,
kerajaan-kerajaan di Jawa, Cina dan lain-lain. Kemenangan atas Portugis semakin
mendorong Aceh Darussalam untuk lebih meningkatkan hubungan luar negeri.
Keberhasilan memperkuat Angkatan
Perang Aceh inilah yang menjadi salah satu dasar mengapa Kerajaan Aceh
Darussalam menjadi salah satu kerajaan “Lima Besar Islam”. Aceh menjadi
kekuatan nyata di daerah rantau Asia Tenggara baik di bidang politik, ekonomi,
maupun militer di masa kekuatan imperialisme kolonial Barat.
Banyak pengamat maupun pimpinan
pasukan dari negara-negara lain memuji kekuatan armada yang dimiliki Aceh.
Davis, Kapten Kapal berbangsa Belanda yang sempat mengunjungi Aceh pada tahun
1599, menulis tentang hasil industri perang Aceh pada masa itu, yang antara
lain sebagai berikut: “Sultan mempunyai banyak sekali meriam-meriam besar dari
baja. Kekuatan pertahanan di perhebat lagi dengan adanya barisan gajah yang
dipergunakan oleh Uleebalang.”
Sedangkan John Anderson dalam
bukunya Achem mengatakan: ”Aceh
adalah Kerajaan yang sangat kuat dalam tahun 1575. Raja Aceh dengan sebuah
armada menyerang Malaka untuk menghantam Portugis yang menguasai Selat Malaka.
Di tengah laut, armada Aceh itu dihadang oleh tiga buah Kapal Perang Portugis,
sehingga terjadi pertempuran yang mengakibatkan ketiga Kapal Perang Portugis
tenggelam.”
Selanjutnya, raja mendaratkan
tentaranya di Malaka dan mengepung serta menembaki Portugis selama 70 hari.
Dalam tahun 1582 Sultan Aceh menyerang lagi Malaka dengan membawa 150 Kapal
Perang dan setelah itu diserang lagi dengan kekuatan tidak kurang dari 300
Kapal Perang.
Beaulieu, utusan Kerajaan Perancis
yang mendapat mandat penuh dari rajanya untuk mengantarkan surat perundingan
dengan Sultan Aceh Iskandar Muda, menulis: “Pertukangan besi, pengecoran
tembaga, dan membikin kapal adalah bakat orang Aceh. Keahlian mereka sangat mengagumkan.
Di laut terdapat kapal-kapal perang dalam jumlah besar. Di darat terdapat
barisan Infantri yang di perteguh oleh Barisan Tentara Gajah. Di tiga
pelabuhan, yaitu Pelabuhan Aceh,Jaya,Pidie terdapat beratus-ratus kapal perang.
Kusaksikan sendiri kapal-kapal perang itu jauh lebih besar daripada kapal-kapal
perang yang pernah dibuat oleh orang Eropa di zaman itu.
Orang-orang Aceh sangat ahli dalam
membuat kapal perang dengan bentuk yang indah. Ciri khas kapal buatan Aceh
adalah berat, lebar dan tinggi. Di bagian dalam terdapat banyak bilik.
Dayung-dayungnya panjang tetapi ringan. Setiap dayung di kayuh oleh dua orang.
Kapal-kapal perang di pelihara dengan baik setelah selesai berperang.
Beberapa meriam besar melengkapi
kapal perang. Setiap kapal sanggup membawa 700 sampai 800 tentara. Tenaga gajah
pun dimanfaatkan dalam peperangan. Tenaga gajah selalu di gunakan untuk menarik
kapal perang yang akan di naikkan ke pantai untuk di galang dan di simpan.
Di taksir tidak kurang dari 900 ekor
gajah kepunyaan Sultan. Semuanya mampu menjalankan tugas dalam peperangan,
sudah terlatih untuk berlari, untuk membelok, untuk berhenti, duduk berlindung,
dan sebagainya.
Selain itu, banyak pula dijumpai
tukang-tukang yang pandai menuang tembaga. Sultan saja, di dalam istana,
memiliki tidak kurang dari 300 orang tukang emas dan banyak sekali tukang kayu
serta sekitar 1500-an hamba sahaya, yang cukup di percaya dan dapat segera
menjalankan perintah dengan tanpa pikir-pikir dan bimbang, kebanyakan berasal
dari orang asing (Habsyi).
Demikian catatan Beaulieu, utusan
Kerajaan Perancis yang mendapat mandat dari rajanya untuk mengantar surat
perundingan dengan Sultan Aceh. Aceh begitu kuat karena mendapat pengajaran dan
latihan dari ahli-ahli dari Turki, pada tahun 1564. Sultan Al-Qahhar
mengerahkan angkatan perangnya yang besar itu untuk menghadapi Portugis di
Semenanjung Malaya. Angkatan perang ini terdiri dari 300 kapal perang, 400 ahli
penembak meriam dan 15.000 laskar. Dengan kekuatan ini, Aceh menyerang
Semenanjung Malaya dari tiga jurusan, yaitu jurusan Johor, jurusan Malaka, dan
jurusan Patani
Posting Komentar