Zaman Kerajaan Aceh



ZAMAN KERAJAAN ACEH

img.9870
            Pada permulaan Abad ke-16, sebagian besar negara islam berada di bawah kekuasaan kolonial Barat. Daratan Aceh, yang terdiri dari kerajaan-kerajaan islam keci, juga tidak terlepas dari penjajahan kolonial Barat. Kekuasaan imperialis kolonial Barat ini bisa bertahan karena kekuatan yang di miliki oleh Kerajaan Islam di Aceh terpencar di sejumlah kerajaan kecil. Tidak mungkin melawan penjajahan kolonial Barat yang telah berhasil mematahkan sebagian besar negara Islam pada permulaan abad ke-16, bila kekuatan yang dimiliki terpencar di sejumlah kerajaan kecil.
            Pemikiran untuk bersatu, menjadi besar dan disegani lawan, muncul dari Panglima Angkatan Perang Kerajaan Islam Aceh, Ali Mughaiyat Syah yang menyadari semakin besarnya peran Portugis di Aceh. Sebagai Panglima Angkatan Perang Kerajaan Islam Aceh, yang juga putra Sultan Alaidin Syamsu Syah, Ali Mughaiyat Syah minta kepada ayahnya untuk meletakkan jabatan dan menyerahkan  pimpinan negara kepadanya. Pada saat itu Sultan Alaidin Syamsu Syah memang sudah cukup tua untuk memimpin perlawanan pada Portugis.
            Ali Mughaiyat Syah menyadari bahwa untuk melawan Portugis diperlukan kekuatan yang besar. Selama kerajaan-kerajaan kecil masih tetap berdiri sendiri dan tidak bergabung dalam satu kekuatan kerajaan besar yang kuat dan bersatu, tetap saja perlawanan tidak memiliki banyak arti. Selain menyusun kekuatan kerajaan-kerajaan kecil menjadi satu, Ali Mughaiyat Syah juga berpikir bahwa kerajaan harus memiliki Angkatan Darat dan Laut yang kuat dan berdisiplin.
            Pada tahun 1511, dengan gelar Sultan Alaidin Ali Mughaiyat Syah, ia memimpin kerajaan Islam Aceh. Langkah pertama yang dilakukan adalah menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil hingga bisa menjadi satu kekuatan besar dengan nama “Kerajaan Aceh Darussalam”. Wilayah yang dikuasainya meliputi Aru sampai ke Pancu Di Pantai Utara. Di Pantai Barat, wilayahnya mencakup Kerajaan Baya sampai ke Barus, dengan ibukota negara Banda Aceh Darussalam. Setelah berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil, mulailah dilakukan pengusiran Portugis dari seluruh daratan Aceh.
            Pada masa tersebut, kekuasaan Portugis sudah sampai ke daerah-daerah. Dalam setiap wilayah kerajaan, Portugis mendirikan kantor dagang dan menempatkan pasukannya. Portugis juga memaksa raja-raja yang telah menyerah untuk menandatangani perjanjian monopoli dagang dengannya.
            Penguasaan Portugis atas daratan Aceh sudah saatnya diakhiri. Di bawah pemerintahan Dultan Alaidin Ali Mughaiyat Syah, mulailah pertempuran melawan Portugis di berbagai tempat antara armada Aceh dan armada Portugis. Dalam pertempuran-pertempuran itu, armada Portugis benar-benar diluluh-lantakkan, sehingga banyak perwira tinggi Portugis yang tewas. Di antara perwira tersebut adalah Laksamana Jorge de Berito, Simon de Souza dan lain-lain.

A.   Lima Besar Kerajaan Islam
Keberhasilan gemilang dalam mengusir Portugis, mengukuhkan Sultan Alaidin Ali Mughaiyat Syah secara definitif sebagai Sultan pertama Kerajaan Aceh Darussalam dengan ibukota negara Banda Aceh. Berdirinya Kerajaan Islam Besar pada masa tersebut sekaligus mendudukkan Aceh Darussalam menjadi salah satu Kerajaan Islam Besar yang masuk dalam deretan “Lima Besar Islam”. Pada masanya, Lima Besar Islam ini, menjalin kerjasama ekonomi,politik,militer, dan kebudayaan. Lima Besar Kerajaan Islam tersebut adalah:
1.    Kerajaan Islam Turki Usmaniyah yang berpusat di Istanbul, Asia Minor.
2.    Kerajaan Islam Marroko di Afrika Utara.
3.    Kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah.
4.    Kerajaan Islam Agra di Anak Benua India.
5.    Kerajaan Aceh Darussalam di Asia Tenggara.

Islam sendiri masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah melalui saudagar-saudagar Arab dan Gujarat, ke pesisir Pantai Utara Pulau Sumatera (Aceh). Kemudian menyisir dari Peureulak, Aceh Timur, lalu menyebar ke Tamieng (jurusan Timur), Pasai(jurusan Barat), Lingga (jurusan Selatan). Dari lingga berlanjut ke Lamuri (Aceh Besar) dan seterusnya kembali lagi ke jurusan Timur yaitu Pidie, mengarah ke Barat yaitu Jaya.
Kerajaan Islam Peureulak merupakan Kerajaan Islam pertama yang berdiri di kepulauan Nusantara pada tahun 225 H atau 840 M.
Portugis memaksakan nafsu penjajahannya dengan menyerang raja-raja Islam di Pantai Utara Sumatera ketika pada akhir abad ke-15 berhasil menduduki Goa di India dan Malaka. Kerajaan yang sempat dijajah Portugis di Pantai Utara Sumatera antara lain Aru (Pulau Kampai), Samudra Pasai, Pidie, Aceh, dan Jaya.

B.   Membangun Angkatan Perang
Ketika membangun Kerajaan Aceh Darussalam, Sultan Alaidin Ali Mughaiyat Syah menetapkan empat pola dasar program negara. Salah satu di antaranya adalah membangun Armada Angkatan Laut yang kuat, di samping Angkatan Darat yang memang telah di bangun sejak Kerajaan Islam Peureulak dan Samudra Pasai.
            Empat pola dasar ini direalisir penerusnya, Sultan Alaidin Ali Ri’ayat Syah, yang lebih terkenal dengan sebutan Al-Qahhar. Dari Turki, Arab, dan India didatangkan tenaga ahli teknik untuk keperluian zeni dan ilmu perang guna melatih armada Aceh.
            Langkah memperkuat Armada Angkatan Laut ini dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda. Ia bahkan mendasarkan kerjanya pada filsafat “Siapa kuat hidup, siapa lemah tenggelam”. Oleh karena itu, kekuatan Angkatan Perang Laut dan Darat terus mendapat perhatian.
            Angkatan perang Aceh di bangun secara modern pada masa itu dengan tanda kepangkatan menyerupai tanda kepangkatan Angkatan Perang Turki. Turut terlibat dalam membangun Angkatan Perang Aceh, seorang teknisi Amerika bernama F.Sheppard yang telah memeluk agama Islam dan telah menunaikan Ibadah Haji. Ia memimpin pembuatan senjata pada industri perang di daerah Samalanga, tanah leluhur Teuku Hamid Azwar.
            Pada tahun 1545, Aceh mengirim utusan ke Turki untuk memperbaharui hubungan diplomatik, di samping untuk meminta bantuan senjata dan tenaga ahli untuk melawan Portugis. Permintaan Aceh di kabulkan oleh Sultan Turki yang berkuasa pada masa itu, yaitu Sultan Sulaiman Khan, dengan memberikan kepada Aceh sejumlah besar alat senjata dan kira-kira 300 orang tenaga ahli (teknik, militer, ekonomi dan hukum/tatanegara).

C.   Hubungan Luar Negeri
Hubungan Kerajaan Aceh degan manca negara sebenarnya sudah terjalin sejak zaman Kerajaan Islam Peureulak. Kerjasama di lakukan dengan negara-negara seperti Arab, Persia (sekarang Iran), India (Gujarat), dan kerajaan-kerajaan di semenanjung Malaya, kerajaan-kerajaan di Jawa, Cina dan lain-lain. Kemenangan atas Portugis semakin mendorong Aceh Darussalam untuk lebih meningkatkan hubungan luar negeri.
            Keberhasilan memperkuat Angkatan Perang Aceh inilah yang menjadi salah satu dasar mengapa Kerajaan Aceh Darussalam menjadi salah satu kerajaan “Lima Besar Islam”. Aceh menjadi kekuatan nyata di daerah rantau Asia Tenggara baik di bidang politik, ekonomi, maupun militer di masa kekuatan imperialisme kolonial Barat.
            Banyak pengamat maupun pimpinan pasukan dari negara-negara lain memuji kekuatan armada yang dimiliki Aceh. Davis, Kapten Kapal berbangsa Belanda yang sempat mengunjungi Aceh pada tahun 1599, menulis tentang hasil industri perang Aceh pada masa itu, yang antara lain sebagai berikut: “Sultan mempunyai banyak sekali meriam-meriam besar dari baja. Kekuatan pertahanan di perhebat lagi dengan adanya barisan gajah yang dipergunakan oleh Uleebalang.”
            Sedangkan John Anderson dalam bukunya Achem mengatakan: ”Aceh adalah Kerajaan yang sangat kuat dalam tahun 1575. Raja Aceh dengan sebuah armada menyerang Malaka untuk menghantam Portugis yang menguasai Selat Malaka. Di tengah laut, armada Aceh itu dihadang oleh tiga buah Kapal Perang Portugis, sehingga terjadi pertempuran yang mengakibatkan ketiga Kapal Perang Portugis tenggelam.”
            Selanjutnya, raja mendaratkan tentaranya di Malaka dan mengepung serta menembaki Portugis selama 70 hari. Dalam tahun 1582 Sultan Aceh menyerang lagi Malaka dengan membawa 150 Kapal Perang dan setelah itu diserang lagi dengan kekuatan tidak kurang dari 300 Kapal Perang.
            Beaulieu, utusan Kerajaan Perancis yang mendapat mandat penuh dari rajanya untuk mengantarkan surat perundingan dengan Sultan Aceh Iskandar Muda, menulis: “Pertukangan besi, pengecoran tembaga, dan membikin kapal adalah bakat orang Aceh. Keahlian mereka sangat mengagumkan. Di laut terdapat kapal-kapal perang dalam jumlah besar. Di darat terdapat barisan Infantri yang di perteguh oleh Barisan Tentara Gajah. Di tiga pelabuhan, yaitu Pelabuhan Aceh,Jaya,Pidie terdapat beratus-ratus kapal perang. Kusaksikan sendiri kapal-kapal perang itu jauh lebih besar daripada kapal-kapal perang yang pernah dibuat oleh orang Eropa di zaman itu.
            Orang-orang Aceh sangat ahli dalam membuat kapal perang dengan bentuk yang indah. Ciri khas kapal buatan Aceh adalah berat, lebar dan tinggi. Di bagian dalam terdapat banyak bilik. Dayung-dayungnya panjang tetapi ringan. Setiap dayung di kayuh oleh dua orang. Kapal-kapal perang di pelihara dengan baik setelah selesai berperang.
            Beberapa meriam besar melengkapi kapal perang. Setiap kapal sanggup membawa 700 sampai 800 tentara. Tenaga gajah pun dimanfaatkan dalam peperangan. Tenaga gajah selalu di gunakan untuk menarik kapal perang yang akan di naikkan ke pantai untuk di galang dan di simpan.
            Di taksir tidak kurang dari 900 ekor gajah kepunyaan Sultan. Semuanya mampu menjalankan tugas dalam peperangan, sudah terlatih untuk berlari, untuk membelok, untuk berhenti, duduk berlindung, dan sebagainya.
            Selain itu, banyak pula dijumpai tukang-tukang yang pandai menuang tembaga. Sultan saja, di dalam istana, memiliki tidak kurang dari 300 orang tukang emas dan banyak sekali tukang kayu serta sekitar 1500-an hamba sahaya, yang cukup di percaya dan dapat segera menjalankan perintah dengan tanpa pikir-pikir dan bimbang, kebanyakan berasal dari orang asing (Habsyi).
            Demikian catatan Beaulieu, utusan Kerajaan Perancis yang mendapat mandat dari rajanya untuk mengantar surat perundingan dengan Sultan Aceh. Aceh begitu kuat karena mendapat pengajaran dan latihan dari ahli-ahli dari Turki, pada tahun 1564. Sultan Al-Qahhar mengerahkan angkatan perangnya yang besar itu untuk menghadapi Portugis di Semenanjung Malaya. Angkatan perang ini terdiri dari 300 kapal perang, 400 ahli penembak meriam dan 15.000 laskar. Dengan kekuatan ini, Aceh menyerang Semenanjung Malaya dari tiga jurusan, yaitu jurusan Johor, jurusan Malaka, dan jurusan Patani

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama